Cermin Kapitalisme dan Sosialisme dalam Sangkar Burung (Pleci)

Matahari mulai turun kelelahan bersinar meninggalkan kehangatan. Sore ini seperti sore-sore biasanya. Namun ada sedikit yang berbeda dan menarik untuk diperhatikan sore ini. Sahut-sahutan kicauan burung tetangga, entah itu burung apa aku ndak pernah memperhatikan, ra tau nggagas, sampai-sampai lagu alam itu baru aku sadari kalau setiap sore ternyata berbunyi. Orkes nyanyian alam dari burung-burung yang di cantol-cantolkan di depan rumah. Mungkin tiap sore lagi check sound sebelum tidur atau lagi check sound burung tetangga yang sesungguhnya haha.

Tetanggaku datang, sambil menenteng kurungan burungnya yang sepertinya baru. Lumayan besar, dicat merah putih, mungkin sekalian persiapan buat meramaikan 17an. Dicantolkanlah kurungan itu di otot-otot genting rumah kosong depan rumahku dan dimulailah percakapan hebat kami. Percakapan yang lebih hebat dari isu panas pecahnya kerusuhan sipil Libya yang lebih parah daripada waktu melawan presiden Khadafi, lebih panas dari isu Dokumen yang dibocorkan Edward Snowden tentang kongkalikongnya US feat Israel yang coba memanipulasi Gaza… halah malah ngelantur.

Bagi yang suka dunia perburungan, dalam hal ini khusus burung kicau atau burung hias, bukan burung yang lain-lain itu, mungkin sudah lebih dulu tahu kalau Pleci saat ini lagi naik-naiknya. Burung kuning kecil yang susah diam itu lagi naik daun. Padahal 2 tahunan yang lalu waktu aku seneng-senengnya nembak, Pleci cuma sering dibuat ajar titis atau cuma sasaran buat kalibrasi teleskop. Eh sekarang harganya melebihi Entog besar yang dibeli ibuk buat lebaran kemarin. Segitulah harga rata-rata seekor Pleci, 200rb an. Bahkan dari ceritanya ada yang sampai harga 10 juta, lumayan ehem…

Pleci itu termasuk burung yang susah ditangkarkan kata tetanggaku. Nggak seperti burung yang dipaksa migrasi yang dulunya sering mlangkring di Dolly (Yang ini pendapat pribadiku :D). Berarti kalau benar seperti itu, Pleci-pleci yang selama ini diperjualbelikan hampir semua ambil langsung dari alam? Nah, disnilah awal mula aku kok kurang sreg sampai sekarang sama yang namanya memelihara burung.

Orang yang gemar memelihara burung, mereka mau mengeluarkan kocek yang nggak sedikit demi memiliki hewan kesayangannya tersebut, entah karena suaranya sexy bisa bikin ngaceng, atau penampilannya yang oke atau karena pushpower nya yang jleb yang disukai naughty girl ehehe. Intinya mereka ingin bisa memilinya secara pribadi, menguasainya agar bisa dinikmati semaunya, kurang lebih begitu. Oke, ini alasan masuk akal dan manusiawi, seenggaknya menurut pengikutnya Adam Smith yang menganut Kapitalisme. Punya uang, punya modal, semuanya bisa diatur.

Tapi coba kita urutkan benang merahnya mendekat menuju ujung finish. Jika semua orang berfikir seperti itu, ingin menguasai Pleci secara pribadi, Habislah burung-burung yang berkicau di Alam. Yang ada tinggal burung-burung yang dibegokan di dalam sangkar, yang dilatih mencuit dengan suara tape dan mp3 hp. Kenapa enggak burung-burung itu dibiarkan tetap bebas seperti hakikatnya? burung apapun, nggak cuma pleci (kecuali burung laki-laki), semuanya dibebaskan tanpa ada yang berusaha memilikinya secara pribadi. Bagaimana jika kita bermimpi: Mari kita lepaskan burung-burung di sangkar dan mari kita semua ikut memiliki semua burung di Alam tanpa harus ada yang mengakuinya secara pribadi. Wooiii.. bakal Indah dunia ini. Orang nggak perlu ngasih makan, nggak perlu beli sangkar, nggak perlu tiap pagi burung-burungnya dijemur. Semuanya hidup normal, bebas, tetap dimiliki oleh kita semua dan bisa berkembang biak secara alamiah dan semua itu tetap bisa dinikmati bersama. Kicaunya, parasnya, kekuatannya.. eeehhhh..??

PS: Semoga bisa membukakan hati yang hatinya belum mau terbuka. Maaf kalau tulisnya banyak nglanturnya dan nggak ada daftar pustaka. Kalau ada salah-salah please feel free to tell me, i’ll very happy :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar