(Ambarawa 26 July 2014, 13.32. Kursi Admin Japronet samping Monumen Palagan)
Matahari barusaja menampakkan diri meskipun ini sudah lepas solat duhur. Sisa-sisa dingin masih menyelimuti udara bahkan ditempat aku sekarang mengetik tulisan ini, meskipun warnet ini disamping persis jalan utama Ambarawa yang padat dilalui kendaraan arus mudik, tetap saja dinginnya masih pekat. Beberapa anak anak laki-laki perempuan silih berganti menempati bilik-bilik komputer, entah apa yang mereka lakukan di dalam bilik dengan komputer dan koneksi internet itu. Setahuku mungkin mereka sedang "ngabuburit" menunggu waktu buka puasa yang tinggal dua hari lagi. Hari ini sama esok hari. Beberapa ibu ibu dengan sepeda motornya terlihat wira-wiri menenteng selongsong kupat, terlihat sibuk seakan-akan tengah mempersiapkan logistik amunisi ketika pertempuran ambarawa terjadi pada 20 november 1945. Memang, Hari raya idul fitri ini merupakan hari yang sangat istimewa bagi kami, bahkan gegap gempitanya melebihi hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 agustus.
Beberapa anak muda dengan paras anak orang yang cukup berkecukupan dengan menenteng kamera dslr dan tripod, terlihat asik menikmati matahari dan mengambil beberapa potret di trotoar sepanjang tembok monumen palagan. Trotoar ini, mungkin satu satunya trotoar keramik di pinggir jalan di Ambarawa. Dokar pun ikut membalap kendaraan-kendaraan yang melewati jalanan dengan sangat semangat, meski saat ini ketenarannya sudah dihujung tanduk. Hanya orang orang tertentu saja yang ingin mendapatkan kenangan tertentu pula tentang masa lalunya yang memilih menggunakan dokar untuk keperluan transportasinya. Memang, meskipun kalau dihitung-hitung dibanding dengan angkot, dokar lebih mahal, tapi sensasi dan rasa yang didapatkan beribu kali lipat ketika menaiki pedatinya. Untukku, dokar cuma kenangan tentang mbah putri. Dulu waktu kecil mbah putri selalu mengajakku kepasar dan pulang dengan membawa belanjaan yang banyak menggunakan dokar. Dokar juga tentang kenangan saat aku dengan beberapa sepupuku membawa lontong yang sangat banyak untuk keperluan hajatan peringatan 1000 hari nenekku dan aku menarik tali kendalinya hingga kuda tersebut "njrantal" dan terbaliklah seluruh pedati beserta lontong-lontongnya. Aku pengacau paling ulung seluruh dunia saat itu.
***
Kalau dari posisi dudukku saat ini, aku bisa melihat tugu tank berdiri gagah di belakang layar monitorku melalui pintu yang "njeblak". Aku juga bisa melihat kilauan air rawa pening yang malu tersorot matahri lewat jendela kaca superlebar di sebelah kiriku. Diseberangnya terlihat bagunan bangunan berjajar entah bangunan apa itu karena terlalu kecil untuk aku ketahui. setahuku bangunan yang berjajar di seberang rawa itu adalah salatiga. Bagian dari kota tempat aku menuntut ilmu dulu di sekolah yang bahasa inggrisnya temen-temen sering menyebut "vocational high school". Padahal aku tahu arti translatenya juga setelah setahun aku belajar di Universitas negeri yogyakarta. Dari tempatku mengetik ini juga, aku bisa melihat jajaran gunung telomoyo, dan bukit bukit yang mengitari ambarawa seakan akan aku sedang duduk di tengah mangkuk dan gunung-gunung itu mengelilingiku. Aku tidak berlebihan, kalau kamu suatu hari ada waktu dan kesempata, bolehlah kau sekadar bertandang ke kota kecilku ini. Kota yang 20 tahunan aku tinggali yang selama ini aku rasakan biasa-biasa saja ternyata setelah aku perhatikan lebih detail,.. Wooyyy!!! Asiknya kota ini gak kalah dari kota tua Ayutthaya di Thailand. mungkin lain kali aku ceritakan petualanganku disana.